MIM WONOSARI dan KISAH MBAH PAINO

pojokkomet.com--Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wonosari atau disingkat MIM Wonosari adalah salah satu amal usaha Cabang Muhammadiyah Wonosari. Terletak di Jalan Raya Wonosari, Pekalongan, Lampung Timur. MIM Wonosari merupakan salah satu sekolah tertua di wilayah Wonosari. Di Wonosari sendiri selain MIM terdapat 3 SD Negeri, MTs Muhammadiyah, dan SMPN 3 Pekalongan.

MIM wonosari merupakan sekolah yang mengemban misi dakwah dan pencerdasan bagi masyarakat. Sebagaimana perjalanan sebuah dakwah yang penuh halang rintang, begitupun perjalanan MIM Wonosari. Selain harus bersaing dengan SD Negeri lain yang saat itu bisa dibilang sedang naik daun, karena mindset masyarakat bahwa sekolah negeri lebih berkualitas dan lebih murah. Pun harus menghadapi penguasa setempat yang ingin mematikan MIM dengan mendirikan SD Negeri saingan yang letaknya tepat disamping MIM. Namun ternyata tantangan dakwah tak hanya dari luar, dari kalangan internal sendiri pun, banyak tokoh-tokoh muhammadiyah yang lebih menyekolahkan anak-anaknya ke SD Negeri.

 

Di tengah perjalanan dakwah MIM Wonosari, ada kisah menarik antara Mbah Rujani (kepala sekolah saat itu) dengan Mbah Paino.

Kisah Mbah Paino

Bagi sebagian orang yang tinggal di Desa Wonosari mungkin tidak asing lagi dengan sosok mbah paino, terutama orang-orang tua.

Siapakah Mbah Paino?.

Apakah Mbah Paino guru MIM? bukan, bahkan beliau SR pun tidak lulus.

Apakah Kyai? bukan, beliau bukan ahli agama.

lalu, apakah beliau konglomerat? bukan pula, bahkan mungkin beliau salah satu warga paling miskin di Wonosari.

Mbah Paino, adalah salah satu warga yang tinggal di RT/RW 05/02 Dusun 2 Wonosari. Mbah paino lahir di kecamatan Ponjong, Yogyakarta. Beliau memulai hidup di Lampung pada zaman kolonisasi Belanda.Tak ada yang tahu pasti berapa umurnya saat ini. 

Mbah Paino bukanlah orang yang terpandang, bukan orang kaya, bukan ahli agama,bukan pula tokoh masyarakat. Namun perjuangannya untuk MIM tak bisa kita sepelekan. Saat MIM maupun Muhammadiyah ada kegiatan gotong royong beliau tak pernah absen. Meskipun harus berjalan kaki karena tak bisa naik sepeda, mbah Paino akan dengan ikhlas mencurahkan keringatnya.

Namun tak banyak yang tahu, peran beliau hingga MIM bisa bertahan sampai sekarang. Ceritanya, beberapa puluh tahun silam MIM Wonosari saat itu kepala sekolahnya masih Bp.Rujani B.A biasa dipanggil mbah Ru atau mbah Rujani, pernah mengalami kekosongan murid. Bukan karena tidak mendapat siswa, saat itu waktu penerimaan siswa baru MIM Wonosari hanya mendapat 4 orang siswa. Karena merasa kasihan, mbah Rujani mengambil kebijakan menitipkan siswa tersebut ke SD Negeri.

Tahun berikutnya, ternyata tidak ada perubahan. Justru makin merosot. MIM Wonosari hanya mendapat 2 orang siswa. Mbah Rujani pun seperti tahun sebelumnya, berniat menitipkan siswa tersebut ke SD Negeri.

Dalam suatu kesempatan, mbah rujani berbincang- bincang dengan mbah Paino.

mbah Rujani: "Mong oleh mured loro No". ( cuma dapat murid dua No).

mbah Paino: "La teros pripon pak?". ( terus gimana pak?)

mbah Rujani: "Mesakne ki no, arep tak titepne nang SD". ( kasihan ini No, mau saya titipin ke SD)

mbah Paino: "Nek dititepne teros sue-sue saget mati pak. Nek saran kulo pinten-pinten murite kudu    diajar. Ajengo kaleh kudu tetep diajar". ( kalau ditipin terus lama-lama  bisa mati pak, berapa pun muridnya harus diajar. Walaupun cuma dua tetap harus diajar)

mbah Rujani: "Ow.. ngono yo No?". ( oh gitu ya No?)

Mulai saat itu mbah Rujani, berapa pun murid yang didapat tetap diajar dengan ikhlas. Tahun berganti tahun, kepala sekolah silih berganti. MIM Wonosari terus berjuang, sebagai sekolah dakwah yang mencerdaskan dan terus menjadi kebanggaan.

Tweet